Monday, September 11, 2017

Bagaimana menghadapi anak yang “lemah”?

Tidak semua anak cepat memahami. Tidak semua anak bisa mengerjakan tugas dengan cepat dan mudah. Menghadapi anak-anak semacam ini, perlu energy dan kesabaran besar. Nah, apa yang saya lakukan menghadapi mereka?

Saya dan realitas
Salah satu sifat positif yang saya bawa ketika menjadi guru adalah sifat optimis dan pantang menyerah. Saya yakin sekali bahwa dengan bekerja keras anak anak pasti bisa. Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak yang belum tahu dan anak yang belum menemukan cara menjadi tahu.
Tugas guru adalah memberinya motivasi dan keyakinan bahwa mereka bisa asalkan mau berusaha. Setiap anak punya cara efektifnya sendiri dalam belajar. Setiap anak. Artinya masing-masing anak unik. Tugas guru adalah mencari tahu keunikan anak dan bagaimana membantunya belajar.

Setiap hari  saya belajar, belajar tentang anak dan belajar membantu anak. Walaupun mungkin prinsip saya keterlaluan. Tidak apa-apa.

Prinsip keterlaluan yang dimaksud adalah bahwa saya tidak mau memberikan ikan pada anak-anak. Walaupun mereka masih anak-anak. Saya mau memberinya pancing. Dan ini butuh waktu. Saat ini anak anak masih suka menerima, mereka lebih suka mendapat ikan tanpa mau memancing. Belum banyak yang sadar akan pentingnya “percaya pada kemampuan diri sendiri” dan “manfaat berusaha”. Ini tantangan saya. Bisa dimaklumi sih, mereka masih anak anak. Tapi, saya mau mengajak mereka untuk mau dan sabar melalui proses. Mau berusaha dengan keras.

Mati-matian saya mengajari mereka proses. Kadang terbersit, kenapa harus capek capek, kasih saja mereka jawaban, suruh mereka menghafal. Tapi cara ini akan berdampak di kehidupan mereka ke depan. Terbiasa mendapatkan solusi dengan mudah bisa membuat mereka di masa depan malas berpikir kreatif, lebih suka menyerah dan pasif. Aku tidak mau itu terjadi.

Nah, dengan prinsip ini saya menghadapi anak-anak. Jadi, ketika ada beberapa anak di kelas yang belum terbiasa berusaha dan mudah menyerah, apa yang harus saya lakukan? Marah? Ya. Memberinya motivasi? Ya. Tapi itu semua tidak menjawab tantangan di depan saya.

Saya dan caraku
Ini sedikit cara yang saya kumpulkan dari pencarian google. Cara ini sebenarnya untuk orang tua, tapi sedang dan terus akan saya coba aplikasikan di kelas. Tentu dengan penyesuaian disana sini.
1.      Selalu dilatih setiap ada waktu luang
Setiap kali anak-anak menyatakan siap, artinya mereka sudah paham dan siap dengan latihan-latihan. Pahamnya anak-anak perlu di tes dong. Paham beneran atau tidak. Latihan disini bisa tertulis bisa secara oral. Bisa individu bisa berkelompok. Bisa dengan cara bermain bisa dengan cara serius. Ini tegantung situasi dan kebutuhan anak-anak. Saya suka sekali dengan cara bermain. Hampir setiap hari, latihan saya lakukan ketika akan istirahat dan pulang. Anak-anak juga lebih excited dengan game ini. Kekurangan dari cara saya adalah anak-anak suka lupa karena tidak tertulis. Tetapi ini akan melatih pemahaman, critical thinking, dan memory mereka. Soal-soal yang saya berikan seringnya adalah soal analisis sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.

2.      Jangan terburu-buru mengulurkan pertolongan
Untuk soal individu tertulis, saya habis-habisan berusaha membuat anak-anak paham dengan “cara” menyelesaikan sebuah soal. Ketika sudah menyatakan paham dan siap mengerjakan soal, mereka akan saya lepas. Ketika bertanya, saya arahkan lagi pada cara tadi. Bahkan sering mereka dibantu dengan memahami arti kata per-kata. No way dengan memberikan jawaban. Saya bantu anak anak dengan memberikan penjelasan dengan memberikan contoh lain untuk soal yang sama. Harapannya anak-anak akan mengerti dan mampu mendapatkan jawabannya. Bahkan, setelah diberi berkali kali contoh dan penjelasan anak-anak masih belum bisa juga mendapatkan jawaban yang benar. Saya biarkan mereka berpikir sampai akhir-akhir waktu. Jika mereka akhirnya bisa, saya kasih lagi soal untuk memastikan bahwa mereka bisa.  

3.      Jangan lupa untuk selalu memberikan semangat dan motifasi untuk anak.
Mungkin segaian anak merasa frustasi dengan prinsip nomor dua. Tapi entahlah, saya percaya, suatu saat mereka akan menuai hasil. Suatu saat mereka akan memiliki kepercayaan kepada dirinya sendiri. Jadi, setiap kali mereka frustasi saya selalu mendorong anak-anak untuk mencoba lagi. “Coba terus, pasti kamu bisa”.

4.      Selalu hargai usahanya meski ada kegagalan
Yah, betul sekali. Walaupun kadang hanya sedikit soal yang bisa dijawab, jika mereka sudah berusaha, saya pasti akan memberikan pujian. “Sudah bagus ini, sudah betul, ayo teruskan”. “Wah, ini sudah hampir betul, ayo ini dirubah sedikit” dan seterusnya. Kadang, untuk menjaga hati mereka, tidak saya kasih nilai, tetapi tulisan deskriptif atau paraf saja. Mereka akan selalu bertanya, apa artinya ini bu? “ini artinya bagus”. Begitu saja anak anak sudah senang sekali.

5.      Selalu memelihara sikap optimis.
Sikap optimis ini adalah sikap yakin bahwa mereka bisa. Saya yakin anak-anak bisa asalkan berusaha. Nah, ini saya tunjukkan dengan cara membiarkan mereka mengerjakan sendiri tugas-tugasnya setelah saya bimbing sebelumnya. Saya tidak suka dengan anak-anak yang mudah menyerah. Kadang saya beri mereka dongeng atau cerita motivasi bahwa tidak ada anak yang tidak bisa, cerita seperti Hellen Keller bagus buat anak-anak.

6.      Berikan hadiah atau reward.
Reward atau hadiah ini tidak harus selalu berupa barang. Memuji dengan perasaan tulus juga menjadi reward bagi anak-anak. “Oh, bagus sekali, teruskan ya..”. “Pintar kan, sekarang sudah bisa”. Tidak hanya ucapan, catatan yang berisi pujian juga perlu agar bisa dibaca oleh anak-anak. Kadang, hadiah permen, pulang lebih dulu, atau hadiah-hadiah kecil juga bisa diberikan untuk memberikan motivasi dan semangat pada anak anak-anak.

Perlu dicatat bahwa cara-cara di atas tidak memberikan garansi bahwa anak-anak dengan kepercayaan diri rendah akan berubah dengan cepat. Perlu waktu. Jadi sebagai guru, kita juga harus selalu berusaha dan optimis anak-anak ini akan berubah, setidaknya mengambil pelajaran dari kita, entah sekarang entah di masa mendatang. Yang penting kita sebagai guru sudah berusaha semaksimal yang kita mampu.

Saturday, September 9, 2017

Sebelum 120 adalah 129

Mungkin aku guru yang kurang sensitif. Lebih tepatnya, secara umum aku adalah orang yang kurang sensitif tetapi juga sensitif. Bingung kan? Aku juga kadang bingung dengan diriku sendiri.
Baiklah, kembali lagi ke judul "sebelum 120 adalah 129". Itu adalah jawaban salah satu muridku ketika aku memberinya soal mengurut mundur.
Latihan soal ini aku berikan setelah hampir sebulan mengajar mereka tentang bilangan ratusan, nilai tempat, menyebut nama dan lambang bilangan, membandingkan, dll. Asumsiku, anak-anak sudah belajar tentang bilangan ratusan sewaktu di kelas 1. Percaya sekali anak-anak bisa dengan mudah menerima pelajaran mengenal bilangan ratusan ini. Apalagi, sehari-harinya banyak dari mereka yang bisa mengerjakan dengan sempurna.
Inilah ketidaksensitifanku karena asumsi tadi. Tetapi begitu ulangan harian, kaget melihat nilai beberapa anak. Aku ajarin lagi satu-satu dan aku kasih soal serupa. Dua orang ternyata belum bisa mengerjakan secara mandiri. Mereka mentok di soal mengurutkan mundur dan maju.
Akhirnya, aku membuat list bilangan di papan, 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 70 dan meminta dua orang muridku untuk mengisi bilangan setelah dan sebelum setiap puluhan yang aku tulis.
Satu bilangan pertama ok. 9, 10, 11. Namun, begitu bilangan selanjutnya, mereka mentok. Ada sekitar 10 menit berpikir tanpa hasil. Dia menebak beberapa angka. Semua salah. Bilangan terakhir yang dia coba terka adalah 29. Aku tulis secara urut 20 sd 29 untuk memberinya sense dimana letak 29. Dia tersenyum melihat posisi angka 29. Akhirnya dia bisa menjawab dengan tepat bahwa sebelum 20 itu 19.
Aku kemudian memintanya menjawab puluhan selanjutnya, yakni 30. Disinipun respon muridku tetap sama. Diam lama tidak bisa menjawab. Tidak putus asa, aku pancing dengan memintanya menghitung secara urut dari 20 sampai 30. Setelah berhitung secara urut, aku kembali bertanya padanya bilangan sebelum 30 yang baru saja dia sebut. Bukannya langsung menjawab, dia hitung kembali dan akhirnya berhasil menjawab 29.
Ah, mungkin  sekarang dia sudah bisa. Aku minta muridku itu mengisi dua bilangan sebelum 40. Sekali lagi, dia tidak bisa. Aku minta dia menghitung lagi 30 sampai 40. Tapi tetap saja dia kelihatan bingung. Akhirnya aku yang putus asa. Aku tulis semua bilangan sebelum dan setelah angka puluhan di papan tulis. Hehehe, gurunya cepat give up ya. Sudah nyut-nyutan kepala karena pusing mikirin muridku yang belum bisa.
Aku beri dia waktu dan memintanya menjawab satu bilangan sebelum 29. Aku sungguh berharap dia bisa melanjutkan menulis bilangan mundur dari angka 29 dan 39. Tetapi sampai bel tanda selesai, muridku belum bisa mengisi dengan benar.
At the end, aku duduk terpekur di meja guru. Berpikir, kenapa muridku belum bisa ya? setelah curhat dengan teman, dia menyampaikan satu kemungkinan .
"jangan-jangan muridmu belum bisa berhitung sampai ratusan. Dia mungkin lancar hanya dari 0-20"
Mendengarnya serasa lampu neon yang tadinya padam menjadi terang benderang. Bisa jadi karena itu.
Baiklah, besok akan aku buatkan tugas harian dia menulis secara urut 0-500. Berkali-kali sampai dia lancar berhitung 0-500.
"Berkali-kali" ini menjadi penting. Sesuai dengan teory Ebbinghaus’s Verbal Learning, bahwa belajar dan kemampuan mengingat informasi yang telah dipelajari tergantung seberapa banyak dia terpapar materi/benda yang dia pelajari. Teori lama, tapi masih layak untuk dipakai untuk anakku ini. Mudah-mudahan berhasil.


Mengapa menjadi guru dan ngeblog?

Mengajar sebagai pekerjaan adalah lompatan baru bagiku. Dalam persepsiku selama ini, mengajar adalah penyaluran hobby untuk sharing pengalaman dan pengetahuan dengan orang lain secara sukarela. Aku lupa bahwa mengajar itu juga pekerjaan yang menantang dan menarik. Kelamaan di dunia NGO sih, keasyikan traveling sambil kerja, kata temanku.
Namun, sejak mengikuti suami ke Jeddah, kota yang memberikan banyak batasan kepada perempuan, mau tidak mau saya harus beralih pada dunia pendidikan. Mengajar adalah caraku untuk tetap berkarya, berkontribusi untuk negeriku. Dengan mengajar aku bersosialisasi. Dengan mengajar aku belajar tentang kehidupan migrants disini. Dengan mengajar aku tahu. Tidak munafik, mengajar juga memberiku riyal...:)
Selama mengajar, aku belajar. Dalam proses belajar ini banyak hal yang kudapatkan; mengenal karakter anak, mengembangkan metode pembelajaran, berusaha kreatif diantara keterbatasan yang ada, belajar berkomunikasi, belajar sabar, belajar bernegoisasi, dan banyak lainnya. Proses dan hasil inilah yang rasanya perlu aku suarakan pada dunia. Mudah-mudahan ada yang bisa mengambil manfaat.

Jeddah, 9 September 2017
Roma