Wednesday, October 5, 2022

HASIL PENGAMATAN UJI COBA READING WORKSHOP MEMBUAT SUKU KATA

Ini adalah hasil pengamatan uji coba pertama reading workshop.

Uji Coba bersama bu Alfi pukul 09.00 sd 10.00 di Mushola Sekolah Indonesia Jeddah dengan hati dagdigdug karena jam 10.00 tempatnya akan dipakai oleh anak OSN. 

CHANGE OVER TIME

Sehari sebelumnya, kami bertiga, bu alfi, but Tria, dan saya (guru kelas 2) membuat rencana reading workshop. Saya membuat draftnya. Tetapi selama proses diskusi ada beberapa hal yang dianggap ruwet. Pertama-tama kami kesulitan menetapkan pola. Saya mengusulkan untuk mengurutkan huruf konsonan misalnya 1,2,3 dan mengurutkan huruf vocal 1,2. Jadi konsonan 1 pasangan dengan vokal 1 dan konsonan 2 dan 3 berpasangan dengan vokal 2. Tapi ditolak mentah mentah oleh Bu Alfi dan Bu Tria. Katanya ruwet.

Saya kemudian searching di internet mencari pola suku kata Indonesia. Akhirnya dari situ saya membuat statement menggunakan pola KV-KVK. Saya rubah lagi statement teaching points menjadi memecah huruf menjadi suku kata dengan mengidentifikasi huruf konsonan dan vocal dan mengelompokkannya dengan pola KV-KVK.

Ada empat langkah dalam teaching methods. Saya memberikan arahan "kasih titik merah dan biru untuk membedakan huruf Vokal dan Konsonan." Kata bu alfi, itu juga merepotkan. Anak anak harus beli bolpoin warna warni atau membawa pensil warna. Akhirnya, ketika uji coba berdua di rumah, kita ganti dengan gesture melingkari dan menggaris bahawahi.  

Ketika memeragakan transisi connectioan ke teaching points, bu alfi tampak sangat kesulitan menyederhanakan bahasa teaching points. Tapi saya minta unturk terus. Akhirnys setelah berkali-kali, bu Alfi tanpa sengaja menggunakan kata memenggal. Saat itu, saya menemukan ide untuk merubah statement teaching point menjadi “Siswa mampu memenggal kata menjadi suku kata dengan pola KV-KVK.”

Kami uji coba lagi langkahnya. Ternyata melingkari saja dan menggaris bawahi saja agak kesulitan ketika kita ingin mengelompokkannya menjadi KV dan KVK. Butuh link! Akhirnya saya menambahkan penjelasan dalam langkah ke 2 dan ke 3 dengan tambahan “tuliskan huruf V dibawah huruf vocal dan huruf K dibawah huruf konsonan. Setelah melakukan itu, tampak pola semua kata yang memiliki hururf 5 itu dengan pola KV dan KVK.

Nah, ini sangat membantu anak anak untuk membuat kelompok suku kata.

FEEDBACK

Keesokan harinya, ketika pelaksanaan, sebagian besar anak anak agak kesulitan mengingat langkah-langkahnya. Mungkin, karena saya menuliskannya dalam kalimat saja dan kalimatnya relative panjang. Mungkin anak anak merasa ruwet membacanya dan menjadi pusing mengikuti langkah-langkahnya.

Dampaknya langsung terlihat! Hanya sebagain kecil anak yg berhasil mengiukuti langkah dengan baik. Mungkin pada pertemuan berikutnya, saya tulis singkat dan kasih gambar langkahnya di kertas coklat dan saya tempel di samping papan tulis. Misalnya seperti ini:

Langkah 1: Hitung hurufnya. Ambil kata yang terdiri dari 5 huruf saja (ada gambar counting!)

Langkah 2: Lingkari huruf vocal, tulis A dibawahnya (ada gambar)

Langkah 3: Garis bawah huruf konsonan, tulis K dibawahnya (ada gambar)

Langkah 4: Beri kotak kelompok KV dan KVK (ada gamber)

Ketika memodelkan, penting sekali untuk melaksanakan langkah-langkahnya secara konsisten dan berulang-ulang. Jangan lupa untuk menyebutkan urutan langkah dan isi langkahnya.

UNEXPECTED POSITIVE OUTPUT

Dari hasil tugas mandiri, terlihat hanya anak anak yg memiliki kemampuan membaca pada level C/D yang bisa mengingat dan mengikuti langkah tersebut secara berurutan (berpikir sistematis). Bahkan ketika guru meminta salah satu anak untuk memasukkan kata “untuk”, siswa tersebut menolak arahan guru dan menjawab ”kata itu tidak berpola KV-KVK bu tapi berpola VK-KVK.” Wow! Ini sebenarnya capaian luar biasa, dia sudah bisa berpikir tingkat tinggi.

UNEXPECTED NEGATIVE OUTPUT
Anak anak yg kemampuan membacanya ada pada level A/B tampak kesulitan menerapkan teaching methods. Tugas independent reading tadi, mereka hanya sampai pada tahap menuliskan kembali kata dengan huruf 5. Kata yang mereka tuliskan pun bukan diambil dari buku, tapi mereka temukan sendiri.

Mereka juga belum bisa melaksanakan perintah dengan baik.
Ketika guru meminta membaca buku cerita dan menghitung hurufnya untuk dikelompokkan suku katanya dengan pola KV-KVK, anak anak belum bisa melakukan itu. Mereka belum bisa membedakan satu kata dengan kata lainnya dalam kalimat. Semua huruf dihitung nyambung sampai akhir kalimat.

Ada juga anak anak yg menulis huruf terbalik balik dan tidak bisa dibaca.

Kesimpulan dari percobaan ini adalah:

Untuk reading workshop dengan tujuan membuat suku kata, hanya bisa diaplikasikan untuk siswa dengan level membaca C/D.

Siswa dengan level membaca A/B mungkin focus pada mengasosiasi sound dengan huruf, serta belajar blending dan segmenting.

Masalahnya di kelas itu ada 3 kelompok kemampuan membaca siswa. Jadi ketika menggunakan metode mengajar literacy, guru harus membuat secara khusus untuk kelompok tertentu dan memberikan tugas pada kelompok lain, misalnya ketika kita mengajar anak level A, anak lain berlevel B dan level C/D diberikan tugas independent reading.

Mukarromah, 05 Oktober 2022.


READING WORKSHOP KELAS 2 SD

READING WORKSHOP KELAS 2 (45 MINUTES) 

Lokasi: Sekolah Indonesia Jeddah

Guru: Mukarramah dan Alfisyah

Tanggal 05 Oktober 2022


LANGKAH 1: MINILESSON 5-10 MINUTES 

  1. CONNECTION: Guru mengingatkan siswa tentang huruf vocal dan huruf konsonan yang pernah dipelajari dipertemuan sebelumnya. Guru mengajak anak menyanyikan lagu aiueo
  2. TEACHING POINT: Siswa bisa memenggal kata menjadi suku kata berdasarkan pola KV dan KVK.
  3. TEACHING METHODS: 

    1. Siswa menghitung dan menggaris bawahi semua kata yang terdiri dari lima huruf. 
    2. Siswa mengidentifikasi dan melingkari huruf vocal dan menuliskan V di bawahnya. 
    3. Siswa mengidentifikasi dan menggarisbawahi huruf konsonan dan menuliskan K dibawahnya. 
    4. Siswa membuat kotak untuk mengelompokkan huruf menjadi KV dan KVK (dua suku kata). 
        4. ACTIVE ENGAGEMENT:   

"Ibu punya buku yang baguuus sekali. Ibu akan bacakan beberapa halaman dan mengajarkan anak anak bagaimana cara memenggal kata." Guru mengajak sneak peek dengan melihat gambar buku berjudul SEMUT dan ROTI, silahkan akses bukunya disini. Gambar diprojectkkan di papan tulis agar guru bisa melalukan langkah 1-4. 

Guru bisa bertanya:

Apa yang anak anak lihat di gambar ini?

Apa yang sedang terjadi pada semut?

Guru kemudian mengajak anak untuk menghitung huruf pada tulisan judul dan memberikan apresiasi karena anak berhasil menemukan kata yang berisi 5 huruf. 

"Hebat! langkah 1 sudah kalian lakukan. Sekarang langkah ke dua adalah melingkari huruf vocal dan menuliskan huruf V dibawahnya." 

Guru act out seolah olah berpikir, “yang mana ya huruf vokalnya?" 

Guru kemudian menyanyikan “aiueo” sesuai lagu di atas. 

“Aha, ini dia huruf vokalnya (huruf e dan u)”. 

Guru mengucapkan huruf e dan u sambil melingkari kedua huruf tersebut dan menuliskan huruf V di bawahnya. 

"Hebat! Langkah 2 berhasil kita lakukan. Sekarang Langkah ke 3 adalah memberi garis pada huruf konsonan dan menuliskan K dibawahnya. Anak anak tahu huruf konsonan? Ya, semua huruf selain huruf “aiueo” adalah huruf konsonan. Sekarang, yuk kita kasih garis dibawah dan tulis huruf K dibawahnya” 

"Sekarang langkah ke-4. Kita akan membuat kotak sesuai pola KV – KVK. Anak anak bisa lihat kan? 
SE  - MUT 
KV - KVK 
"SEMUT memiliki dua suku kata. Suku kata pertama adalah SE berpola KV, kita kasih kotak. Suku kata kedua adalah MUT berpola KVK, kita kasih kotak. Berarti huruf semut ada dua suku kata, yaitu se-mut. Bukan SEM-UT. Itu cara mengucapkan kata semut dengan benar." 

Guru memberi contoh kalimat kepada siswa dan meminta siswa menghitung huruf yang dimiliki oleh setiap kata yang ada dalam kalimat tersebut dan memodelkan kembali langkah 1-4.

5. LINK: Guru melakukan read aloud sampai selesai untuk membangun keinginan siswa membaca buku tersebut. Guru kemudian menugaskan anak anak untuk menemukan kata yang terdiri dari 5 huruf dan membuat suku kata dengan 4 langkah. Guru membagikan kerta tugas!

LANGKAH 2: SISWA MEMBACA BUKU (25 Menit) Ayo, silahkan membaca buku dan kerjakan tugas memenggal kata menjadi dua suku kata di kertas yang sudah dibagikan Ibu guru! Guru berkeliling kelas memantau tugas siswa dan mendampingi siswa yang membutuhkan bantuan (conferring).  

LANGKAH 3: SHARE (1-2 menit) 

  • Sekarang kalian mencari 1 orang teman untuk diskusi kosakata apa yang sudah kalian temukan di buku yang kalian baca! 
  • Cek apakah hasil kalian ada kesamaan atau ada perbedaan dengan teman kalian! 
  • Silahkan angkat tangan dan beritahu ibu jika kalian merasa tugas kalian sama atau beda dengan temannya, yang sama apa saja dan yang beda apa saja. 

TUGAS 

MEMBACA DI RUMAH Guru membagikan kertas tugas lagi dan mengirim buku online berjudul "Moah Sahabat yang Baik" untuk dibaca di rumah! 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

LEMBAR TUGAS MEMBACA MANDIRI READING WORKSHOP 

Judul Buku      : Semut dan Roti 

Pengarang       : Dulga Lal Shresta 

Nama siswa   

Kelas             

Tanggal         

Kompetensi: Siswa bisa memenggal kata menjadi suku kata dengan pola KV dan KVK 

TEMUAN SISWA (cari paling banyak 8 kata) 

  1. Tulis kata yang memiliki 5 huruf
  2. Lingkari huruf vokal dan tulis V dibawahnya
  3. Garis bawahi huruf konsonan dan tulis K dibawahnya
  4. Beri kotak pada kelompok huruf berpola KV dan KVK

    

        --------------------------------


        

        --------------------------------



        --------------------------------

Saturday, July 25, 2020

Guru, Pembelajaran Daring dan Covid-19


Oleh Mukarramah, MURP

Edmodo; kelas online
Menjadi guru di zaman serba canggih ini rasanya seperti dikejar-kejar teknologi. Kita baru belajar aplikasi A, eh sudah ada aplikasi baru yang lebih canggih. Begitu seterusnya. Tidak hanya DIPAKSA untuk mengenal dan bisa menguasai (secara otodidak), tetapi juga menularkan pengetahuan itu kepada murid dan walimurid. Jangan dibayangkan kami memiliki kesempatan untuk mengumpulkan orang tua dan melatihnya face to face. Kami tidak bisa menikmati fasilitas itu! Di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung mereda, kami harus melakukan komunikasi JARAK JAUH dan bertatap muka secara virtual. Bayangkan, kami harus bisa mengarahkan wali murid untuk instalasi, buka akun, join kelas, submit tugas, mengerjakan latihan, dan download materi di Learning Management System (LMS) gratisan, aplikasi belajar jarak jauh seperti Edmodo yang kami gunakan. Tidak semua orang familier dan memahami istilah dan bahasa per-online-an. Belum lagi jika wali murid yang kita ajak bicara buta aksara. Betapa menantangnya!


Itu baru satu hal. Hal lainnya, kami juga harus bisa mengelola jiwa dan raga agar bisa melayani murid di segala waktu; subuh, pagi, siang, sore, malam, dan bahkan dini hari. Merdeka belajar bagi siswa yang didengung-dengungkan oleh pemerintah bukan berati merdeka bekerja bagi kami, guru. Karena, untuk memberikan kemerdekaan itu, kami harus available 24 jam! Semua tak masalah, karena prioritas kami adalah memberikan kesempatan belajar bagi semua siswa, tanpa terkecuali.

Tidak hanya berusaha memberikan berbagai pilihan aplikasi dan kebebasan waktu belajar bagi siswa, ada satu hal lagi yang wajib kami lakukan. Ini yang lebih penting sebenarnya: Memberikan materi pembelajaran yang sesuai, dapat diakses dan dapat dipahami dengan mudah oleh siswa baik dengan bimbingan orang tua atau tanpa bimbingan orang tua. Apa maksudnya? Pertimbangan terakhir ini merupakan perwujudan dari kompetensi sosial kami. Mampu untuk memahami kondisi siswa dengan latarbelakang sosial dan ekonomi yang cukup beragam. Iya, kami tidak bisa menutup mata atas kondisi orang tua siswa terutama mereka yang bekerja di sektor domestik. Dimana, waktu tidak lagi ada dalam kekuasaan mereka, tetapi ditetapkan oleh sang majikan. Inilah hidup mereka yang harus kami pahami.

WAG; komunikasi multiarah
Kompetensi sosial itu bergandengan dengan kompetensi profesional. Ketika menyiapkan materi pembelajaran, kami dituntut tidak saja berpikir tentang KD, tujuan, sumber belajar, evaluasi, dan media belajar, kami juga harus berpikir kemampuan siswa menangkap materi melalui pembelajaran daring. Hal terakhir ini berkontirubusi cukup besar dalam pertimbangan penyusunan materi! Otak kami terus bergerak memikirkan cara dan bahasa yang dapat ditangkap dengan mudah oleh anak anak. Bahkan ketika tidur, pikiran itu terus saja mengusik kami. Waktu kami yang 24 jam itu, selain digunakan untuk melayani siswa,  merencanakan pembelajaran, menyiapkan materi, mempublikasikannya, mengevaluasi, juga kami gunakan untuk hidup kami sendiri bersama keluarga.

Evaluasi dengan menggunakan aplikasi Quizziz

Evaluasi menggunakan google form
Daftar hadir online menggunakan MS. Kaizala


Akhir kata, ditengah keterbatasan ini, jika menemukan banyak kekurangan dan kesalahan kami, tolong maafkan. Kami guru adalah manusia biasa yang berjuang untuk kemerdekaan belajar anak anak bangsa. Kami tak meminta pujian, cukup dengan kesediaan orang tua, bapak pejabat dan siapapun yang memiliki concern tinggi terhadap pendidikan dan yang telah meluangkan waktu untuk memonitor kami, untuk bergandengan tangan saling mendukung dan selalu mendoakan kami senantiasa sehat dan semangat.

Evaluasi menggunakan game eduakasi JSA

Monday, September 11, 2017

Bagaimana menghadapi anak yang “lemah”?

Tidak semua anak cepat memahami. Tidak semua anak bisa mengerjakan tugas dengan cepat dan mudah. Menghadapi anak-anak semacam ini, perlu energy dan kesabaran besar. Nah, apa yang saya lakukan menghadapi mereka?

Saya dan realitas
Salah satu sifat positif yang saya bawa ketika menjadi guru adalah sifat optimis dan pantang menyerah. Saya yakin sekali bahwa dengan bekerja keras anak anak pasti bisa. Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak yang belum tahu dan anak yang belum menemukan cara menjadi tahu.
Tugas guru adalah memberinya motivasi dan keyakinan bahwa mereka bisa asalkan mau berusaha. Setiap anak punya cara efektifnya sendiri dalam belajar. Setiap anak. Artinya masing-masing anak unik. Tugas guru adalah mencari tahu keunikan anak dan bagaimana membantunya belajar.

Setiap hari  saya belajar, belajar tentang anak dan belajar membantu anak. Walaupun mungkin prinsip saya keterlaluan. Tidak apa-apa.

Prinsip keterlaluan yang dimaksud adalah bahwa saya tidak mau memberikan ikan pada anak-anak. Walaupun mereka masih anak-anak. Saya mau memberinya pancing. Dan ini butuh waktu. Saat ini anak anak masih suka menerima, mereka lebih suka mendapat ikan tanpa mau memancing. Belum banyak yang sadar akan pentingnya “percaya pada kemampuan diri sendiri” dan “manfaat berusaha”. Ini tantangan saya. Bisa dimaklumi sih, mereka masih anak anak. Tapi, saya mau mengajak mereka untuk mau dan sabar melalui proses. Mau berusaha dengan keras.

Mati-matian saya mengajari mereka proses. Kadang terbersit, kenapa harus capek capek, kasih saja mereka jawaban, suruh mereka menghafal. Tapi cara ini akan berdampak di kehidupan mereka ke depan. Terbiasa mendapatkan solusi dengan mudah bisa membuat mereka di masa depan malas berpikir kreatif, lebih suka menyerah dan pasif. Aku tidak mau itu terjadi.

Nah, dengan prinsip ini saya menghadapi anak-anak. Jadi, ketika ada beberapa anak di kelas yang belum terbiasa berusaha dan mudah menyerah, apa yang harus saya lakukan? Marah? Ya. Memberinya motivasi? Ya. Tapi itu semua tidak menjawab tantangan di depan saya.

Saya dan caraku
Ini sedikit cara yang saya kumpulkan dari pencarian google. Cara ini sebenarnya untuk orang tua, tapi sedang dan terus akan saya coba aplikasikan di kelas. Tentu dengan penyesuaian disana sini.
1.      Selalu dilatih setiap ada waktu luang
Setiap kali anak-anak menyatakan siap, artinya mereka sudah paham dan siap dengan latihan-latihan. Pahamnya anak-anak perlu di tes dong. Paham beneran atau tidak. Latihan disini bisa tertulis bisa secara oral. Bisa individu bisa berkelompok. Bisa dengan cara bermain bisa dengan cara serius. Ini tegantung situasi dan kebutuhan anak-anak. Saya suka sekali dengan cara bermain. Hampir setiap hari, latihan saya lakukan ketika akan istirahat dan pulang. Anak-anak juga lebih excited dengan game ini. Kekurangan dari cara saya adalah anak-anak suka lupa karena tidak tertulis. Tetapi ini akan melatih pemahaman, critical thinking, dan memory mereka. Soal-soal yang saya berikan seringnya adalah soal analisis sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.

2.      Jangan terburu-buru mengulurkan pertolongan
Untuk soal individu tertulis, saya habis-habisan berusaha membuat anak-anak paham dengan “cara” menyelesaikan sebuah soal. Ketika sudah menyatakan paham dan siap mengerjakan soal, mereka akan saya lepas. Ketika bertanya, saya arahkan lagi pada cara tadi. Bahkan sering mereka dibantu dengan memahami arti kata per-kata. No way dengan memberikan jawaban. Saya bantu anak anak dengan memberikan penjelasan dengan memberikan contoh lain untuk soal yang sama. Harapannya anak-anak akan mengerti dan mampu mendapatkan jawabannya. Bahkan, setelah diberi berkali kali contoh dan penjelasan anak-anak masih belum bisa juga mendapatkan jawaban yang benar. Saya biarkan mereka berpikir sampai akhir-akhir waktu. Jika mereka akhirnya bisa, saya kasih lagi soal untuk memastikan bahwa mereka bisa.  

3.      Jangan lupa untuk selalu memberikan semangat dan motifasi untuk anak.
Mungkin segaian anak merasa frustasi dengan prinsip nomor dua. Tapi entahlah, saya percaya, suatu saat mereka akan menuai hasil. Suatu saat mereka akan memiliki kepercayaan kepada dirinya sendiri. Jadi, setiap kali mereka frustasi saya selalu mendorong anak-anak untuk mencoba lagi. “Coba terus, pasti kamu bisa”.

4.      Selalu hargai usahanya meski ada kegagalan
Yah, betul sekali. Walaupun kadang hanya sedikit soal yang bisa dijawab, jika mereka sudah berusaha, saya pasti akan memberikan pujian. “Sudah bagus ini, sudah betul, ayo teruskan”. “Wah, ini sudah hampir betul, ayo ini dirubah sedikit” dan seterusnya. Kadang, untuk menjaga hati mereka, tidak saya kasih nilai, tetapi tulisan deskriptif atau paraf saja. Mereka akan selalu bertanya, apa artinya ini bu? “ini artinya bagus”. Begitu saja anak anak sudah senang sekali.

5.      Selalu memelihara sikap optimis.
Sikap optimis ini adalah sikap yakin bahwa mereka bisa. Saya yakin anak-anak bisa asalkan berusaha. Nah, ini saya tunjukkan dengan cara membiarkan mereka mengerjakan sendiri tugas-tugasnya setelah saya bimbing sebelumnya. Saya tidak suka dengan anak-anak yang mudah menyerah. Kadang saya beri mereka dongeng atau cerita motivasi bahwa tidak ada anak yang tidak bisa, cerita seperti Hellen Keller bagus buat anak-anak.

6.      Berikan hadiah atau reward.
Reward atau hadiah ini tidak harus selalu berupa barang. Memuji dengan perasaan tulus juga menjadi reward bagi anak-anak. “Oh, bagus sekali, teruskan ya..”. “Pintar kan, sekarang sudah bisa”. Tidak hanya ucapan, catatan yang berisi pujian juga perlu agar bisa dibaca oleh anak-anak. Kadang, hadiah permen, pulang lebih dulu, atau hadiah-hadiah kecil juga bisa diberikan untuk memberikan motivasi dan semangat pada anak anak-anak.

Perlu dicatat bahwa cara-cara di atas tidak memberikan garansi bahwa anak-anak dengan kepercayaan diri rendah akan berubah dengan cepat. Perlu waktu. Jadi sebagai guru, kita juga harus selalu berusaha dan optimis anak-anak ini akan berubah, setidaknya mengambil pelajaran dari kita, entah sekarang entah di masa mendatang. Yang penting kita sebagai guru sudah berusaha semaksimal yang kita mampu.

Saturday, September 9, 2017

Sebelum 120 adalah 129

Mungkin aku guru yang kurang sensitif. Lebih tepatnya, secara umum aku adalah orang yang kurang sensitif tetapi juga sensitif. Bingung kan? Aku juga kadang bingung dengan diriku sendiri.
Baiklah, kembali lagi ke judul "sebelum 120 adalah 129". Itu adalah jawaban salah satu muridku ketika aku memberinya soal mengurut mundur.
Latihan soal ini aku berikan setelah hampir sebulan mengajar mereka tentang bilangan ratusan, nilai tempat, menyebut nama dan lambang bilangan, membandingkan, dll. Asumsiku, anak-anak sudah belajar tentang bilangan ratusan sewaktu di kelas 1. Percaya sekali anak-anak bisa dengan mudah menerima pelajaran mengenal bilangan ratusan ini. Apalagi, sehari-harinya banyak dari mereka yang bisa mengerjakan dengan sempurna.
Inilah ketidaksensitifanku karena asumsi tadi. Tetapi begitu ulangan harian, kaget melihat nilai beberapa anak. Aku ajarin lagi satu-satu dan aku kasih soal serupa. Dua orang ternyata belum bisa mengerjakan secara mandiri. Mereka mentok di soal mengurutkan mundur dan maju.
Akhirnya, aku membuat list bilangan di papan, 10, 20, 30, 40, 50, 60 dan 70 dan meminta dua orang muridku untuk mengisi bilangan setelah dan sebelum setiap puluhan yang aku tulis.
Satu bilangan pertama ok. 9, 10, 11. Namun, begitu bilangan selanjutnya, mereka mentok. Ada sekitar 10 menit berpikir tanpa hasil. Dia menebak beberapa angka. Semua salah. Bilangan terakhir yang dia coba terka adalah 29. Aku tulis secara urut 20 sd 29 untuk memberinya sense dimana letak 29. Dia tersenyum melihat posisi angka 29. Akhirnya dia bisa menjawab dengan tepat bahwa sebelum 20 itu 19.
Aku kemudian memintanya menjawab puluhan selanjutnya, yakni 30. Disinipun respon muridku tetap sama. Diam lama tidak bisa menjawab. Tidak putus asa, aku pancing dengan memintanya menghitung secara urut dari 20 sampai 30. Setelah berhitung secara urut, aku kembali bertanya padanya bilangan sebelum 30 yang baru saja dia sebut. Bukannya langsung menjawab, dia hitung kembali dan akhirnya berhasil menjawab 29.
Ah, mungkin  sekarang dia sudah bisa. Aku minta muridku itu mengisi dua bilangan sebelum 40. Sekali lagi, dia tidak bisa. Aku minta dia menghitung lagi 30 sampai 40. Tapi tetap saja dia kelihatan bingung. Akhirnya aku yang putus asa. Aku tulis semua bilangan sebelum dan setelah angka puluhan di papan tulis. Hehehe, gurunya cepat give up ya. Sudah nyut-nyutan kepala karena pusing mikirin muridku yang belum bisa.
Aku beri dia waktu dan memintanya menjawab satu bilangan sebelum 29. Aku sungguh berharap dia bisa melanjutkan menulis bilangan mundur dari angka 29 dan 39. Tetapi sampai bel tanda selesai, muridku belum bisa mengisi dengan benar.
At the end, aku duduk terpekur di meja guru. Berpikir, kenapa muridku belum bisa ya? setelah curhat dengan teman, dia menyampaikan satu kemungkinan .
"jangan-jangan muridmu belum bisa berhitung sampai ratusan. Dia mungkin lancar hanya dari 0-20"
Mendengarnya serasa lampu neon yang tadinya padam menjadi terang benderang. Bisa jadi karena itu.
Baiklah, besok akan aku buatkan tugas harian dia menulis secara urut 0-500. Berkali-kali sampai dia lancar berhitung 0-500.
"Berkali-kali" ini menjadi penting. Sesuai dengan teory Ebbinghaus’s Verbal Learning, bahwa belajar dan kemampuan mengingat informasi yang telah dipelajari tergantung seberapa banyak dia terpapar materi/benda yang dia pelajari. Teori lama, tapi masih layak untuk dipakai untuk anakku ini. Mudah-mudahan berhasil.


Mengapa menjadi guru dan ngeblog?

Mengajar sebagai pekerjaan adalah lompatan baru bagiku. Dalam persepsiku selama ini, mengajar adalah penyaluran hobby untuk sharing pengalaman dan pengetahuan dengan orang lain secara sukarela. Aku lupa bahwa mengajar itu juga pekerjaan yang menantang dan menarik. Kelamaan di dunia NGO sih, keasyikan traveling sambil kerja, kata temanku.
Namun, sejak mengikuti suami ke Jeddah, kota yang memberikan banyak batasan kepada perempuan, mau tidak mau saya harus beralih pada dunia pendidikan. Mengajar adalah caraku untuk tetap berkarya, berkontribusi untuk negeriku. Dengan mengajar aku bersosialisasi. Dengan mengajar aku belajar tentang kehidupan migrants disini. Dengan mengajar aku tahu. Tidak munafik, mengajar juga memberiku riyal...:)
Selama mengajar, aku belajar. Dalam proses belajar ini banyak hal yang kudapatkan; mengenal karakter anak, mengembangkan metode pembelajaran, berusaha kreatif diantara keterbatasan yang ada, belajar berkomunikasi, belajar sabar, belajar bernegoisasi, dan banyak lainnya. Proses dan hasil inilah yang rasanya perlu aku suarakan pada dunia. Mudah-mudahan ada yang bisa mengambil manfaat.

Jeddah, 9 September 2017
Roma